Abstraksi Pikiran



Ini hanya sebuah tulisan yang tumbuh dari pemikiran, lalu turun ke mata, melihat pahitnya realita, lalu turun ke hati, memantik nyala api semangat untuk memulai, dan akhirnya mengendap di hati yang terdalam, dimana muncul satu ‘gamparan’ yang menyadarkan saya bahwa, saya sayang pada fakultas ini.

Terlepas dari cibiran orang, fakultas ini sangat hebat, hebat dalam artian masing – masing individu di dalamnya punya satu keunikan yang berfungsi sebagai bahan bakar bagi api unggun angkatan  yang masih menyala semu. Namun, mengapa harapan yang kita junjung tinggi tidak semudah itu terwujud di lingkungan ini? Bagaimana kita harus bertindak? Apa yang salah dalam system ini?

Saya tidak pernah yang namanya bolos dari kegiatan nongkrong, sehari pun itu. Sejak tanggal 1 Agustus hingga sekarang, setiap malam selalu saya lewati dengan segelas kopi di tangan, serta sebuah pembicaraan yang abstrak tentang hidup. Bersama teman – teman saya, kita berbicara tentang keprihatinan kita di dunia baru ini. Semua dimulai dari perbincangan saya dengan Popo dan Aland. Perbincangan abstrak ini mungkin dipandang sebagai satu pembodohan yang berkala apabila dilihat dari sudut pandang orang lain, namun bagi kita perbincangan ini bukti tanda sayang kami ke fakultas kami. Perbincangan seputar apa yang salah, dari mulai hal yang kecil hingga apa yang mau kita lakukan selama kita di ITB untuk menunjukkan bahwa kebanggaan kita di sini bukan sekedar kata-kata manis, semua itu menemani malam – malam kita, dibawah naungan bintang – bintang yang menjulang tinggi bagai impian kita nanti.

Mengutip dari pahlawan demokrasi yang menginspirasi saya, Soe Hoek Gie, “Patriotisme tidak mungkin tumbuh dari hipokrisi dan slogan-slogan. Seseorang hanya dapat mencintai sesuatu secara sehat kalau ia mengenal obyeknya.” – Catatan Seorang Demonstran, 2008. Cinta yang tulus itu muncul ketika kita melihat sesuatu setelah kita memasuki seluk-beluk internalnya, dimana kita melihat hal-hal buruk yang menggundahkan hati kita, satu keganjilan yang menggelitik akal kita, dan pribadi-pribadi unik yang menggampar nurani kita untuk merendahkan hati dan menyadari bahwa setiap orang itu unik. Di saat semua itu bercampur aduk, akankah kita masih sayang secara utuh pada apa yang kita lihat di pandangan pertama? Itukah yang disebut cinta? Cinta yang semu?

Hal ini yang bisa kita terapkan di kehidupan sehari-hari kita. Biasakan jangan menuntut, tapi buatlah aksi yang mengubah semua yang kita tuntut itu. Sebelum menilai seseorang itu buruk, masuk ke kehidupan dia dan kenali siapa dia sebenarnya. Sebelum mengecap Indonesia itu buruk, kenalilah Indonesia lebih dekat dari rakyat dan budayanya. Sebelum mengkritik suatu system, masuklah dan pelajari system itu. Semua itu akan menumbuhkan kesadaran kita untuk mencintai sesuatu secara tulus dan disitulah kedewasaan kita muncul untuk mengambil tindakan yang tepat agar hal yang kita cintai dapat berjalan dengan lebih baik lagi.

Satu hal yang saya dapat setelah mengenal universitas ini lebih dalam lagi, hal yang saya temui di fakultas saya, yaitu masalah kepedulian. Kepedulian? Masalah bullshit yang selalu dibicarakan semua orang, tapi selalu tidak pernah ada hasilnya. Ya memang benar di sini kita diharuskan belajar, tapi bukankah itu memang suatu kewajiban? Apa yang sebenarnya kita incar di sini, apakah hanya nilai belaka? Angka-angka yang melayang dan menghantui pikiran kita itukah yang membantu kita menjadi karakter generasi penerus bangsa? Akankah dengan terkekang oleh keinginan mendapatkan nilai bagus membuat kita buta akan sekeliling kita? Mahasiswa adalah seseorang yang berperan lebih dari sekedar pelajar, mahasiswa adalah anak-anak muda yang bisa menggerakkan hati bangsa. Saya disini melihat bahwa individualis adalah hal yang dijunjung tinggi, melebihi rasa kekeluargaan sendiri, dimana apa yang teman saya alami dan hadapi adalah tanggung jawab mereka masing-masing, bukan urusan saya. Urusanmu urusanmu,, urusanku ya urusanku, lucu dan memprihatinkan.

Tuhan memberikan saya berkat untuk membagi pemikiran saya dengan sesama saya, di saat itu Tuhan memberikan saya amanah untuk menggerakkan massa FITB dengan menjadi ketua angkatannya. Bagi saya hal ini hanya sebuah status, tidak lebih dari kata panggilan orang. Siapa yang bisa menggerakkan massa bukan mereka yang mengepalai, tapi mereka yang punya semangat tinggi dan niat yang lebih tinggi untuk bergerak. Di sinilah letak kesinergisan satu komunitas, dimana benih-benih pergerakan ini yang harus dipupuk untuk tumbuh dan membuahkan pergerakan nyata. Tanggung jawab ini memang berat, namun peran saya tak lebih dari ‘sahabat’ dan ‘gas’ dalam angkatan, hanya sebagai perangkul dan pemantik, tidak lebih dan tidak kurang. Saya yakin apa yang orang lihat dari fakultas terlebih universitas ini kurang tepat, karena mereka belum melihat sisi baik dari pribadi-pribadi yang bernaung di sini. Semua orang punya keunikan masing-masing dan disinilah fungsi keberagaman itu untuk melengkapi puzzle kekeluargaan bersama, dimana masing-masing orang mampu bergerak dengan penerapan mereka masing-masing terhadap satu tujuan yang sama, dengan hasil yang berbeda namun bermanfaat bagi masyarakat.
Mungkin tulisan ini terkesan tidak berguna, namun saya yakin bisa memantik semangat-semangat sesama yang lain. Sekian dari saya ini, Ad Maiorem Dei Gloriam!

Selasa, 12 Oktober 2016

Komentar